Bagaimana Benua Melemahkan Lautan: Teori Baru tentang Asal Usul Gunung Berapi

31

Di bawah permukaan lautan yang tampak tenang, terdapat kekuatan tersembunyi yang membentuk jantung planet ini yang berapi-api. Sebuah studi inovatif mengungkapkan mekanisme mengejutkan yang mendorong aktivitas gunung berapi menjauh dari batas tektonik tradisional: pecahan benua terkelupas dan tersapu ke dalam mantel, lapisan bumi yang terik di bawah dasar laut.

Penemuan ini mengungkap teka-teki geologis yang sudah lama ada: mengapa banyak pulau samudera terpencil memiliki komposisi unsur kontinental yang khas, meskipun terletak ribuan kilometer dari daratan. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan menduga bahwa unsur-unsur yang “diperkaya” ini – yang biasanya melimpah di benua – berasal dari daur ulang sedimen laut yang tenggelam ke dalam mantel atau naiknya gumpalan batuan yang sangat panas (mantle plume) yang berasal jauh di dalam bumi. Namun, tidak ada penjelasan yang sepenuhnya menjelaskan ciri-ciri kimia unik semua pulau vulkanik. Beberapa wilayah menunjukkan sedikit bukti adanya daur ulang sedimen, sementara wilayah lainnya kekurangan panas dan kedalaman yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi dari bulu mantel.

Penelitian baru yang dipimpin oleh University of Southampton bekerja sama dengan beberapa lembaga internasional ini mengusulkan solusi radikal: benua tidak hanya retak di permukaannya saja; mereka juga melepaskan material dari bawah, membentang dalam jarak yang sangat jauh yang sebelumnya dianggap mustahil. Proses ini terjadi melalui “gelombang mantel”, gangguan yang dipicu jauh di dalam bumi ketika benua-benua mulai terpecah. Bayangkan gelombang-gelombang ini seperti riak seismik yang menyebar dari pecahnya benua, bergerak sangat lambat – sepersejuta kecepatan siput – namun tanpa henti mendorong dan mencabut material di kedalaman 150-200 kilometer.

Fragmen benua yang terpisah ini kemudian terbawa ke samping, terkadang melebihi 1.000 kilometer, langsung ke dalam mantel samudera. Di sana mereka bertindak sebagai bahan bakar letusan gunung berapi yang berlangsung selama puluhan juta tahun. Profesor Sascha Brune dari GFZ Helmholtz Center di Potsdam dengan tepat menggambarkan fenomena ini: “Mantel masih merasakan dampak pecahnya benua lama setelah benua itu sendiri terpisah. Proses ini tidak berhenti begitu saja ketika cekungan samudera baru terbentuk – mantel terus bergerak, melakukan reorganisasi, dan mengangkut material yang diperkaya jauh dari asalnya.”

Bukti yang mendukung teori ini berasal dari studi di Provinsi Gunung Laut Samudera Hindia – rangkaian gunung berapi bawah laut yang terbentuk setelah benua super Gondwana terpecah sekitar 100 juta tahun yang lalu. Dengan menggabungkan simulasi dan analisis data geokimia, para peneliti mendeteksi lonjakan magma yang diperkaya secara luar biasa yang meletus segera setelah pecahnya Gondwana. Sifat kimiawi ini berangsur-angsur berkurang selama puluhan juta tahun seiring dengan berkurangnya pasokan material kontinental dari bawah – tanpa ada tanda-tanda adanya bulu mantel yang memicu letusan.

Profesor Thomas Gernon, penulis utama studi di Universitas Southampton, menekankan, “Meskipun kita tidak sepenuhnya mengabaikan bulu mantel, penemuan ini menunjukkan mekanisme baru yang membentuk komposisi mantel bumi. Gelombang mantel dapat membawa material benua jauh ke dalam mantel samudera, meninggalkan jejak kimia yang bertahan lama setelah benua itu sendiri terpisah.”

Penelitian inovatif ini tidak hanya memperjelas asal usul aktivitas gunung berapi di bagian lautan yang tampaknya terisolasi, namun juga memperluas pemahaman kita tentang keterhubungan dan sifat dinamis dari proses-proses di bumi. Hal ini menyoroti bagaimana peristiwa-peristiwa geologis yang tampaknya terjadi di masa lalu dapat bergema di seluruh planet ini, membentuk permukaannya dan mempengaruhi inti apinya selama jutaan tahun yang akan datang.